Senin, 28 Desember 2009

PROBLEMATIKA GENDER DAN PENDIDIKAN

Problematika Gender dan Pendidikan
Dalam deklarasai Hak-hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa :” Setiap
orang berhak mendapatkan pengajaran … pengajaran harus dengan cuma-cuma,
setidaknya untuk sekolah rendah dan tingkat dasar. Pengajaran harus
mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan
antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan
kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya ketika pendidikan bukan hanya
dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan
bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 7
demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di
masyarakat.
Statement di atas mengemuka dikarenakan telah terjadi banyak ketimpangan
gender di masyarakat yang diasumsikan muncul karena terdapat bias gender
dalam pendidikan. Diantara aspek yang menunjukkan adanya bias gender dalam
pendidikan dapat dilihat pada perumusan kurikulum dan juga rendahnya
kualitas pendidikan. Implementasi kurikulum pendidikan sendiri terdapat dalam
buku ajar yang digunakan di sekolah-sekolah. Realitas yang ada, dalam
kurikulum pendidikan (agama ataupun umum) masih terdapat banyak hal yang
menonjolkan laki-laki berada pada sektor publik sementara perempuan berada
pada sektor domestik. Dengan kata lain, kurikulum yang memuat bahan ajar
bagi siswa belum bernuansa neutral gender baik dalam gambar ataupun ilustrasi
kalimat yang dipakai dalam penjelasan materi.
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender
dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot oleh Departemen
Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam dunia pendidikan
yaitu akses, partisipasi, proses pembelaran dan penguasaan.
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai.
Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang
pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap
wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa
yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan
masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan
anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’
tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan
pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi
dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat
meninggalkan bangku sekolah.
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 8
Faktor yang kedua adalah aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor
bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, di
mana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama
perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk
memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah
sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas,
maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak-anak laki-laki. Hal ini
umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan
berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari
nafkah.
Menurut Menneg Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, bahwa sampai
tahun 2002, rata-rata lama sekolah anak perempuan sekitar 6,5 tahun
dibandingkan anak laki-laki sekitar 7,6 tahun. Hingga tahun 2003, penduduk
perempuan buta aksara usia 15 tahun ke atas mencapai 13,84 persen. Sedangkan
penduduk laki-laki usia 15 tahun ke atas yang buta huruf sebesar 6,52 persen.
Makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi kesenjangan antara laki-laki dan
perempuan. Namun yang tak boleh dilupakan adalah, bahwa walaupun
perempuan hanya bergerak di arena domestik dan tugasnya adalah mendidik
anak dan menjaga kesejahteraan keluarga, ia tetap harus berilmu untuk tugas itu.
Stereotype gender yang berkembang di masyarakat kita yang telah mengkotakkotakkan
peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki-laki.
Dalam pembangunan pendidikan masih terjadi gejala pemisahan gender (gender
segregation) dali.ii jurusan atau program studi sebagai salah sum bentuk
diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily discrimination') ke dalam bidang
keahlian dan selanjutnya pekerjaan yang berlainan. Hal ini disebabkan oleh nilai
dan sikap yang dipengaruhi faktor-fdlctor sosial budaya masyarakat yang secara
melembaga telah memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan.
Pemilihan jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi
domestik, sementara itu anak diharapkan berperan dalam menopang ekonomi
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 9
keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu keras,
teknologi dan industri.
Sementara pada aspek ketiga yaitu aspek proses pembelajaran masih juga
dipengaruhi oleh stereotype gender. Yang termasuk dalam proses pembelajaran
adalah materi pendidikan, seperti misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh
soal dimana semua kepemilikan selalu mengatas namakan laki-laki. Dalam aspek
proses pembelajaran ini bias gender juga terdapat dalam buku-buku pelajaran
seperti misalnya semua jabatan formal dalam buku seperti Camat, Direktur
digambarkan dijabat oleh laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender,
yang seolah-olah menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah
tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci.
Aspek yang terakhir adalah aspek penguasaan. Kenyataan banyaknya angka buta
huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..
Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10
tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85
persen adalah perempuan (Betty D. Sinaga : Fokal Point Gender Depdiknas : 2003).
Sumber : http://www.dikmas.depdiknas.go.id/05-p-gender-pedoman.htm
Gambar 1 . Angka Buta Aksara Penduduk Indonesia Usia 10-14 Tahun
Mungkin pada awalnya perempuan di Indonesia menguasai baca tulis, namun
pemanfaatannya yang minim membuat mereka lupa lagi pada apa yang telah
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 10
mereka pelajari. Kondisi ini secara tidak langsung juga mematikan akses
masyarakat ke media hingga kemajuan peranan perempuan Indonesia banyak
yang tidak terserap oleh masyarakat kita dan mereka tetap berpegang pada nilainilai
lama yang tidak tereformasi.
Sumber : http://www.dikmas.depdiknas.go.id/05-p-gender-pedoman.htm
Gambar 2. Tingkat keaksaraan penduduk usia 15 tahun keatas menurut jenis kelamin,
1995-2002
Perempuan yang selalu di dorong untuk mengalah, bersikap lemah lembut dan
menerima kepemimpinan dan bimbingan laki-laki membuat mereka selalu
mempertanyakan persetujuan dari pihak laki-laki untuk kemajuan-kemajuan dan
kesempatan-kesempatan yang mereka dapatkan. Betty mengatakan bahwa
bukannya ia menyarankan untuk tidak bersikap kompromis dengan pihak suami
atau laki-laki namun alasan untuk menolak atau menerima suatu kesempatan
atau tawaran lebih baik bila di dasarkan pada keputusan yang matang dari
kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta
sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam
lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang
selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan
menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik
memang menjadi pekerjaan perempuan.
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 11
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode,
serta buku ajar yang menjadi pegangan para siswa sebagaimana ditunjukkan
oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias
gender.
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang
sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut
perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran,
kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat
berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Paradigma-Paradigma Pendidikan
Paling tidak ada tiga macam paradigma yang biasa mewarnai gerak langkah
lembaga-lembaga pendidikan. Bagi mereka yang menganut paradigma konservatif,
ketidaksetaraan merupakan hukum alam, dan oleh karenanya mustahil untuk
dihindari, karena ia merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan.
Perubahan sosial bukan sesuatu yang perlu diperjuangkan dengan serius, karena
dikhawatirkan justeru akan membawa manusia kepada kesengsaraan baru. Bagi
penganut paradigma ini, menjadi miskin, tertindas, terpenjara adalah buah dari
kesalahan mereka sendiri, karena kelalaian atau kemalasan mereka untuk belajar
dan bekerja keras. Jika mereka mau keadaan dapat berbalik bagi mereka. Kaum
konservatif beranggapan bahwa harmoni dalam masyarakat merupakan hal yang
penting agar konflik dapat dihindari.
Paradigma liberal menganggap bahwa persoalan ekonomi dan politik tidak
berkaitan langsung dengan pendidikan. Oleh karenanya usaha-usaha pemecahan
persoalan pendidikan yang dilakukan pada umumnya berupa usaha-usaha
reformasi yang bersifat kosmetik seperti pembangunan kelas dan fasilitas baru,
memodernkan peralatan sekolah, pengadaan laboratorium atau komputer dsb.
yang secara umum terisolasi dari sistem dan strruktur ketidakadilan kelas,
gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 12
Pendidikan justeru berfungsi untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat,
menjadi media untuk mensosialisasikan dan memproduksi nilai-nilai tata susila
keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi dengan baik.
Paradigma ini pada umumnya berupaya membangun kesadaran naif, di mana
pendidikan tidak berusaha mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem
dan struktur yang ada dianggap sudah baik atau given dan oleh karenanya tidak
perlu dipertanyakan (Fakih, dalam O'Neil, 2001).
Paradigma yang ketiga adalah paradigma kritis, yang memandang pendidikan
sebagai arena perjuangan politik. Pendidikan dengan paradigma ini
mengagendakan perubahan struktur secara fundamental dalam plitik ekonomi
masyarakat di mana ia berada. Bagi mereka, kelas dan diskriminasi gender dalam
masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Dalam perspektif ini
urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant
ideology, ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidik, dengan demikian
adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur
ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial
yang lebih adil. Paradigma kritis ini sekaligus mengadopsi kesadaran kritis
dengan cara melatih anak didik untuk mampu mengidentifikasi segala bentuk
ketiakadilan yang mengejawantah dalam sistem dan struktur yang ada,
kemudian melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta
bagaimana mentransformasikannya. (Fakih, dalam O'Neil, 2001).
Paulo Freire mengecam pendidikan yang selama ini dianggap sebagai sumber
kebajikan sebagai telah menjadi penindas yang ulung. Pendidikan yang pada
umumnya dianggap memiliki misi umum untuk mencerdaskan bangsa ternyata
malah berperan aktif mengkerdilkan anak didik, karena tidak mampu membuat
mereka lebih humanis atau lebih manusia. Pendidikan yang selama ini dipercaya
memiliki tugas untuk membukakan pikiran dan nurani manusia akan berbagai
kesadaran palsu yang tumbuh dalam masyarakat justeru turut serta menjadi
pencipta kesadaran-kesadaran palsu sendiri dan menjadi pengekang
kebebebasan, dengan cara-caranya yang terselubung. Katanya Freire:
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 13
Pendidikan yang sungguh-sungguh membebaskan takkan
berjarak dari kaum tertindas, takkan memperlakukan mereka
sebagai orang-orang yang tak beruntung, serta menyuguhi kaum
tertindas itu model panutan dari antara kaum penindas.
Pendidikan yang berawal dari kepentingan-kepentingan egoistis
para penindas (egoisme yang berjubah kedermawanan palsu,
pakni paternalisme), yang membuat kaum tertimdas jadi objekobjek
humanitarianisme, melestarikan dan memapankan
penindasan. Pendidikan seperti itu adalah alat mendehumanisasi
manusia. (Freire, 1999:444)
Jika kita bersetuju dengan Freire, tentu kita akan dengan jeli mencermati
kedudukan kita sebagai pendidik, untuk mempertanyakan apakah selama ini
kita telah mampu membukakan mata anak didik kita terhadap berbagai
kesadaran palsu, yang biasanya berjubah kedermawanan atau kemuliaan, atau
kita, mungkin tanpa kita sadari, justeru telah bersetubuh dengan para penindas
dan menjadi ujung tombak mereka dalam rangka melipur lara anak didik kita
agar tidak merasa bahwa mereka telah menjadi objek penindasan.
Membangun Pendidikan Berperspektif Gender di Sekolah
Jika sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet atau
penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif dengan
berkolaborasi dengan kebutuhan jaman, maka menjadi salah satu tugas sekolah
untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender yang selama ini
terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang berkembang dalam
masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan mengajak masyarakat
sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk mengubah/membongkar
kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus mentransformasikannya menjadi
praktik-praktik yang lebih berpihak kepada keadilan sesama, terutama keadilan
bagi kaum perempuan.
Analisis Gender di Lembaga Sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam suatu institusi pendidikan, kita tidak bisa
melangkah berdasarkan asumsi-asumsi belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan
data-data yang lebih konkrit yang didapat dari pengamatan, penelitian dan
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 14
analisis kiritis terhadap lembaga sekolah. Data-data inilah yang kemudian akan
dijadikan patokan untuk melangkah dan mengambil keputusan-keputusan
strategis dalam melakukan perubahan-perubahan yang dibutuhkan. Pengamatan
itu hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang biasanya tergenderkan
dalam sebuah organisasi atau lembaga (Mcdonald et al, 1997), seperti misalnya:
ideologi-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya,
struktur-struktur yang dibangun, gaya manajemennya, pembagian
tugas/pekerjaan, pengaturan/tata ruang kantornya, ungkapan-ungkapan,
hubungan kekuasaaan, lambang-lambang yang digunakan dsb. yang semua itu
dapat memberi sinyal sejauh mana lembaga sekolah tergenderkan.
Pendidikan kesadaran gender memang tidak harus decreet, atau terpilah dari
pembelajaran yang lain, tapi ia juga tidak bisa diperlakukan sebagai sampiran
belaka. Pendidikan gender yang hanya disampirkan pada pembelajaranpembelajaran
yang ada biasanya bersifat longgar dan mudah kehilangan arah.
Kecuali itu karena miskin kontrol maka sangat mudah melemah, atau bahkan
menghilang. Dengan memperlakukan pendidikan gender sebagai program yang
khusus dan sekaligus menyebar atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang
lain, ia akan memiliki tanggung jawab dan kontrol yang lebih besar. Perlu ada
tagihan-tagihan terhdap materi apa dan bagaimana proses pembelajaran yang
dilakukan, sehingga dapat dimunculkan evaluasi dan perbaikan-perbaikan
secara terus menerus, hingga perspektif gender menjadi budaya masyarakat
tersebut.
Guru/Pendidik sebagai Pilar
Guru/Pendidik/Kyai/Ustadz dan terutama lagi ustadzah/guru perempuan
mesti menjadi pilar utama gender meanstreaming, karena gender merupakan
ideologi yang sangat tampak pada perilaku dan perbuatan sehari-hari. Pada
masyarakat sekolah yang pada umumnya masih menganut budaya paternalistik,
contoh perilaku berkeadilan gender menjadi sangat penting. Dalam kondisi
sedemikian, maka harus diupayakan guru mendapatkan akses terhadap dasardasar
pengetahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu, untuk membukakan
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 15
pikiran dan nurani akan adanya persoalan tersebut. Karena persoalan gender
merupakan persoalan budaya, maka 'pendidikan' gender kepada guru ini
mungkin tidak dapat dilaksanakan secara konfrontatif dalam jangka waktu yang
pendek. Hal ini pun dapat terkendala, seperti yang dikemukakan Nurcholis
Majid dengan mengidentikkan peran guru di sekolah sama dengan kyai di dalam
pesantren : manakala sang guru memiliki ketetapan yang sangat kuat untuk
tidak mengubah sekolahnya untuk mengikuti perkembangan zaman, yang pada
umumnya terjadi pada guru – guru yang sesungguhnya tidak memiliki
kemampuan untuk mengikuti perkembangan ilmu (dalam Tholkhah, 2004:84).
Jika Guru/Pendidik sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap
pengetahuan gender, maka komitmen yang sangat penting untuk dijadikan
landasan membangun pendidikan gender akan jauh lebih mudah dicapai.
Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode pembelajaran yang pada umumnya dilakukan oleh
sekolah adalah metode pembelajaran yang lebih menekankan transmisi keilmuan
klasik, yang memungkinkan adanya penerimaan imu secara bulat (taken for
granted) yang tak terbantahkan, yang memberi ruang gerak yang sempit bagi
adanya dialog dan diskusi kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat dengan
probematik-problematik kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya dialog
dan diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa adanya, jelas
tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus diupayakan
kesempatan untuk terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar konsep-konsep
penting pendidikan gender dapat lebih mudah tercerap oleh para siswa.
Karena kurikulum sekolah pada umumnya sudah mapan, dipandang sebagai
“kitab kuning” (yang menurut beberapa penelitian justeru mengandung
problematika-problematika gender) sebagai materi pokok pembelajaran, maka
harus ada terobosan-terobosan dalam penyampaiannya. Tanpa keterbukaan atau
sikap yang mengakomodasi adanya penafsiran-penafsiran baru yang bersifat
sosio historis kritis, niscaya pendidikan gender juga tidak mungkin terwujud
dalam kondisi seperti itu. Pendidikan gender yang tumbuh dalam mazhab
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 16
pemikiran postrukturalis tidak bisa terlaksana tanpa adanya keterbukaan dan
dialog dengan ilmu-ilmu lain secara interdisipliner.
Perlu dicatat bahwa pendidikan gender tidak serta merta mengharuskan
ketersediaan materi ajar yang mutlak tidak bisa gender, karena kecuali sulit
diwujudkan juga tidak mendorong tumbuh kembangnya pemikiran-pemikiran
kritis yang justeru akan menjadi tulang punggung kehidupan berkeadilan
gender. Dari teks-teks atau contoh-contoh aktivitas yang bias gender yang ada di
sekitar sekolah, siswa justeru bisa diajak untuk meresapi konsep gender lewat
contoh-contoh yang konkrit.
Bahasa bukan Persoalan Sepele
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan peka gender,
karena ideologi mengejawantah di dalam bahasa, lewat pilihan kata, tekanantekanan,
konstruksi kalimat atau ujaran yang digunakan dalam komunikasi baik
tertulis maupun lisan. Bahasa yang dimaksud juga tidak terbatas pada bahasa
verbal tetapi termasuk bahasa non verbal, bahasa tubuh seperti cara bersalaman,
memberi penghormatan, memandang atau mengerling menyiratkan makna yang
mengandung muatan gender. Menyepelekan peran bahasa dalam pendidikan
peka gender sama dengan mengbaikan unsur penting dalam pendidikan.
Apa yang dapat dilakukan ?
Bagaimana usaha yang dilakukan mewujudkan keadilan gender? Keadilan dan
kesetaraan gender dapat dipenuhi jika undang-undang dan hukum menjamin.
Problem sekarang adalah tidak adanya jaminan dari negara untuk memperoleh
kebebasan setiap insan tumbuh secara maksmal. Relasi gender tidak semata lahir
dari kesadaran individu, tetapi juga bergantung pada faktor ekonomi, sosial dan
lingkungan yang sehat dan dinamis.
Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki,
pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak reproduksi.
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep
gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 17
perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang
bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi
pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar
diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan
jenis kelamin.
Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan
antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender (pratical gender
needs). Kebutuhan ini bersifat jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya.
Namun usaha untuk melakukan pembongkaran bias gender harus dilakukan
mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing hingga sampai pada
kebijakan pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan epistimologi ilmu
pengetahuan. Untuk itu berbagai aksi untuk menjawab tantangan strategis
seperti melakukan kampanye, pendidikan kritis, advokasi untuk merubah
kebijakan, tafsir ulang terhadap wacana keagamaan serta memberi ruang
epistimologi perspektif feminis untuk memberikan makna terhadap realitas
dunia perlu dlakukan
Menjauh dari sikap pesimisme, maka dalam bidang pendidikan, hal berikut ini dapat
dilakukan :
1. Meningkatkan Partisipasi Pendidikan, dengan meningkatkan akses dan daya
tampung pendidikan, menurunkan angka putus sekolah siswa perempuan dan
meningkatkan angka melanjutkan lulusan dengan memberikan perhatian khusus
pada anak-anak dari lingkungan sosial ekonomi lemah dan anak-anak yang
tinggal di daerah tertinggal. Upaya tersebut perlu didukung c!eh pelayananpelayanan
terintegrasi untiik menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab
serta membantu keluarga yang kurang mampu dalam memberikan pendidikan
kepada anak-anaknya. Berbagai upaya yang akan diiakukan dalam rangka
menghapus kesenjangan gender perlu disesuaikan dengan situasi dan
permasalahan masing-masing daerah atau wilayah dan dikoordinasikan
bersama oleh seluruh stakeholder.
2. Meningkatkan kesadaran umum dan relevansi pendidikan melalui antara lain
penyempurnaan kurikulum dan memperbaiki materi ajar yang lebih sensitif
gender, peningkatan kualitas tenaga pendidik sehingga memiliki pemahaman
Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si.
Siswanto Q 100 050 227 Halaman 18
yang memadai mengenai masalah gender dan bersikap sensitif gender dan
menerapkannya dalam proses belajar mengajar.
3. Mengembangkan manajemen pendidikan sehingga responsif gender melalui antara lain
pelaksanaan berbagai analisis kebijakan dan peraturan perundangan yang
masih bias gender; penimusan dan penetapan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan pendidikan yang berwawasan gender; peningkatan
kapasitas institusi pengelola pendidikan sehingga memiliki kemampuan
merencanakan, menyusun kebijakan, strategi dan program pendidikan
berwawasan gender secara efektif dan efisien; serta pengembangan pusat-pusat
studi wanita dan penguatan pusat-pusat studi lainnya sebagai mitra pemerintah
pusat dan daerah dalam pembangunan pendidikan berwawasan gender.
Tiga hal tersebut dapat dilaksanakan melalui lima strategi utama yaitu:
(1) penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara
merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan
persekolahan maupun pendidikan luar sekolah;
(2) penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang
tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan;
(3) peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk
dewasa terutama perempuan
(4) peningkatan koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurusutamakan
pendidikan berwawasan gender; dan
(5) pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat
maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.